Rabu, 19 Juli 2023

Bumi Manusia " Secuil Kisah Perjalanan Sebuah Bangsa"

Bumi Manusia buku Karya Pramudya Ananta Toer pertama yang saya baca. Juga buku pertama dari tetralogi Buru. Diberi nama demikian karena buku ini ditulis selama penahanan Pramudya di pulau Buru. Sempat dilarang oleh pemerintah membuat penasaran, cerita apa yang ada dibaliknya. Setelah selesai membaca saya dapat menarik kesimpulan kalau pelarangan itu dilakukan karena faktor politis. Sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Tak heran karena ceritanya yang humanis, menyoroti ketidakadilan dan sebuah kritik kepada kolonial.

Buku setebal 535 halaman ini berlatarbelakang kejadian di Hindia Belanda era tahun 1900. Pada masa itu akses pendidikan hanya bisa didapat oleh anak-anak keturunan belanda, cina dan pribumi dari kalangan bangsawan. Berkisah tentang Minke seorang pemuda yang mendapat pendidikan setara dengan para pemuda Belanda dan Indish di HBS (Hogere Burgerschool) setara SMA saat ini. Kualitas HBS di Hindia Belanda dibuat setara dengan HBS yang ada di Belanda. Lulusan HBS dapat melanjutkan ke universitas baik yang ada di Hindia Belanda maupun di Belanda. Karena itu menjadi siswa HBS adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Pada tahun 1915 siswa pribumi HBS hanya 6,1% dari total 915 siswa yang ada di 3 HBS Batavia, Semarang dan Surabaya. Dari sini bisa dilihat betapa akses pendidikan bagi kaum pribumi masih sangat terbatas pada masa itu. 
Minke yang lebih suka dipanggil begitu adalah seorang raden mas keturunan bangsawan yang pandai. Mendapat pendidikan setara dengan Belanda membuatnya merasa ilmu pengetahuan adalah sebuah sumber daya.
Minke yang membenci adat istiadat leluhurnya namun tetap tunduk dan patuh. Minke mengutuki mengapa seseorang harus merendahkan diri kepada sesama manusia hanya karena keningratannya. Tak boleh berjalan dengan kedua kaki berdiri tegap saat harus menemui seseorang dengan derajat yang katanya lebih tinggi. Meskipun demikian minke tetap mematuhi adat istiadat leluhurnya.
Perjalanan mempertemukan Minke dengan gadis yang berasal dari keluarga seorang Nyai. Annalies Melema seorang gadis campuran Belanda indo di usianya yang masih belia menjadi pelaksana bisnis keluarga. Dibalik Annalies ada Nyai Ontosoroh yang menjadi pengatur dari semua bisnis keluarga itu. Keduanya membuat minke heran. Nyai Ontosoroh fasih berbahasa Belanda, membaca buku dan majalah berbahasa Belanda. Ia juga mengatur pembukuan dan bekerja sama dengan bank atas namanya sendiri. Nyai Ontosoroh tak ada beda dengan wanita Belanda berpendidikan pada umumnya, bahkan setara dengan guru-guru Minke di HBS. Nyai Ontosoroh jauh dari konotasi negatif seorang Nyai dimasa itu. Pada masa kolonial, seorang nyai berada dalam posisi kedudukan yang tinggi secara materi namun rendah secara moral. Nyai adalah sebutan bagi gundik, wanita-wanita simpanan orang Belanda. Yang identik dengan wanita berparas rupawan namun tidak dengan kelakuan, Nyai biasanya digambarkan dengan sifat buruk, penggoda lelaki, suka main serong dan hidup dari harta tuannya.
Betapapun terpelajarnya seorang nyai Ontosoroh, tetap tidak membuatnya jadi memiliki kedudukan setara di mata pemerintahan. Dia tak punya hak atas anak-anaknya. Begitupun usaha yang dibangunnya. Karena tuannya tak pernah menikahinya secara resmi. Nyai tetaplah seorang nyai tak berkedudukan dimata hukum. Dan Minke menjadi saksi dan juga korban dari ketidakadilan pribumi di negrinya sendiri.
Buku ini memberi kita gambaran bagaimana ketidakadilan terjadi selama jaman kolonial Belanda. Dan mirisnya para bangsawan pribumi yang juga menjadi penindas kaumnya sendiri. Sangat layak dibaca karena membuka wawasan. Dahulu indish merupakan sebuah aib karena berasal dari keluarga tanpa ikatan pernikahan. Dari sini kita bisa melihat adanya perspektif yang bergeser. Membuat kita bersyukur hidup di jaman dengan akses ilmu yang begitu mudah. Membuat siapa saja yang mau belajar seperti nyai Ontosoroh dapat menjadi apapun yang diinginkan. Buku ini tidak tersedia di ipusnas. Saya membacanya di archive.org