waktu kecil dulu, saat sedang bepergian, saya memperhatikan ibu yang selalu memasukan kembali sampah plastik permen kedalam tas nya. Saat saya menanyakan mengapa ibu menyimpan sampah itu kembali kedalam tas nya, jawaban beliau cukup sentimentil. kasihan kalau sampahnya dibuang sembarangan. jadi nanti buangnya di rumah saja. Begitupun ketika jajan dirumah, bungkus chiki atau wafer selalu dilipatnya menjadi lipatan kompak yang menarik. Saya suka dengan hasil lipatan-lipatan kecil platik sampah itu. Menurut saya bentuknya sangat menarik.
Dari hal sesederhana itulah kesadaran saya untuk tidak membuang sampah sembarangan terbangun. Mengikuti jejak ibu, saya selalu menyimpan sampah yang saya hasilkan bila belum menemukan tempat untuk membuangnya. Dan hal positif sesederhana ini juga bisa menular. Ketika ngobrol santai dengan suami, dia bercerita di awal perkenalan kami, dia merasa aneh ketika melihat saya menyimpan kembali sampah kecil seperti itu. Namun kesadarannya ikut terbangun, sampah sekecil bungkus permen bila semua orang di Indonesia membuangnya sembarangan maka hasilnya adalah gunungan sampah. Menurutnya menyimpan sampah sebelum menemukan tempat sampah adalah suatu yang ringan namun memang tak pernah terpikir sebelumnya.
Kesukaan saya pada berkebun, sejalan dengan bertumbuhnya kesadaran dalam mengolah sampah. Sejak berumah tangga dan tinggal di rumah sendiri, saya berusaha memilah sampah. Dimulai dari memilah sampah organik dan non organik. Awalnya, sampah organik hanya saya buang ke dalam lubang di halaman. Sementara sampah non organik dibuang ke tempat sampah. Perjalanan belajar mengkompos saya dimulai ketika mendapatkan composter bag dari kantor suami. Berbagai sampah organik sisa menyiangi sayur, daun kering, sampah pemangkasan kebun saya masukkan. Saya juga membuat starter dari air cucian beras, tape dan yakult. Composter bag itu saya letakkan diluar rumah. Mungkin karena terkena hujan siang malam, sampah organik itu tidak terurai dengan maksimal. Apalagi saya malas mencacah daun atau batang sebelum memasukkannya ke dalam komposter bag. Composter bag itu juga terkena serangan tikus. Jadilah composter bag itu malah berakhir di tempat pembuangan sampah.
Percobaan selanjutnya adalah mengompos dengan ember cat. Kebetulan saya mempunyai ember cat bekas dirumah. Semua sampah organik saya masukkan kedalamnya. Termasuk sampah sisa makanan. Karena saya hanya punya 1 ember saja. Biasanya ember sudah penuh sebelum sampah-sampah didalamnya berubah menjadi kompos. Maka saya kembali akan membuat lubang di tanah, membuang sampah dalam ember cat kedalam lubang tersebut lalu menimbunnya dengan tanah. Saya masih terus berproses untuk bisa membuat kompos yang bisa di panen.
Hanya dari memilah sampah organik dan non organik, sampah yang saya buang bisa berkurang hingga 50%. Sejak lebih giat memilah sampah, saya juga memisahkan kantong untuk sampah plastik dan kertas. Walaupun saat diangkut petugas kebersihan semua kembali bersatu. Namun pastinya tak ada pekerjaan positif yang sia-sia, dimulai dari diri sendiri.