Senin, 30 Juni 2025

Salah Asuhan

Bapakku mempunyai peti  berisi buku-buku. Agar mudah dibayangkan, besarnya peti itu separoh peti jenazah. Terbuat dari besi bercat hitam yang luntur terkelupas dan tertutup debu. Setiap kali pulang ke rumah bapak ibu, saya menyempatkan membuka peti itu untuk mencari buku buku yang bisa dibaca. Dan kali ini, saya mengambil buku salah asuhan karya Abdul Muis dari dalam peti tersebut. 


Saya sudah pernah membaca roman ini saat masih duduk di bangku SMP. Saat itu guru bahasa Indonesia saya bercerita bahwa salah asuhan adalah buku favoritnya. Dia bahkan menceritakan sedikit bagian cerita dalam roman tersebut. Saya masih ingat dengan tema besar ceritanya namun sudah lupa bagaimana akhir cerita roman tersebut. Saat ini saya sedang membaca ulang roman salah asuhan. Membacanya ulang setelah dewasa, memberikan perspektif yang berbeda. Dahulu ketika membacanya saat remaja, sepertinya yang menjadi perhatian hanyalah konflik percintaan setiap tokohnya. Kini lebih terasa konflik kemanusiaan yang ada dibalik ceritanya. Budaya dan kebiasaan dijaman itu terurai dibalik cerita. Pergumulan batin dituliskan dengan apik sehingga pembaca larut dalam emosi si tokh yang diceritakan.

Roman tersebut ditulis dengan bahasa yang indah. Dibutuhkan perhatian khusus saat membacanya karena tata bahasa yang digunakan sangat berbeda dengan bahasa yang umumnya dipakai saat ini. Salah Asuhan diterbitkan pertama kali tahun 1928. Untungnya buku yang saya baca terbitan tahun 1989 sudah menggunakan ejaan baru sehingga tak harus lagi menyesuaikan pula membaca dengan ejaan lama.

Salah asuhan bercerita tentang Hanafi seorang bumiputera yang mendapat pendidikan setara dengan kaum Eropah Belanda. Kisahnya berlatarbelakang daerah minangkabau dan batavia di masa tahun 1920 an. Menyimak ceritanya membuat saya larut dan kembali ke masa itu. Ada kasta pemisah antara bangsa Eropah Belanda dengan Bumiputera, sebutan untuk orang orang pribumi. Terasa sekali kedudukan bumiputera yang dianggap rendah. Saat itu penjajah masih menguasai Indonesia. Pemerintahan dipegang dan diatur dengan aturan Negara Belanda. Hingga saat Indonesia merdeka, banyak aturan pemerintahan yang ternyata merupakan warisan dari Belanda.

Buku Salah Asuhan sepertinya termasuk dalam buku laris sepanjang jaman. Buku terbitan tahun 1989 yg saya baca merupakan cetakan ke delapan belas. Buku ini juga merupakaan bacaan wajib bagi pelajar. Terbukti saat saya duduk di bangku SMP, guru bahasa indonesia saya membahas buku salah asuhan dalam salah satu materi pelajaran.